Ketika Anda membayar PBB atau pajak yang
lain, Anda dapat disebut telah melakukan perbuatan warga negara yang taat,
terlepas apa motivasi Anda. Mungkin Anda membayar pajak karena kesadaran Anda
sebagai warga negara yang baik, mungkin karena terpaksa, mungkin karena malu,
dan mungkin juga karena ada kepentingan- kepentingan tertentu, misalnya untuk
memperlancar usaha Anda sendiri. Apa pun motivasi yang mendorong Anda membayar
pajak, di mata negara, Anda tetap disebut warga negara yang taat. Bahkan
sekalipun bersamaan dengan itu, Anda diam-diam terus melakukan korupsi,
misalnya.
Demikian pula ketika Anda membayar zakat
atau ber sedekah, Anda disebut muslim yang taat sekalipun mungkin dalam
melakukan itu Anda merasa terpaksa, atau malu, atau mengharapkan Allah akan
membalas Anda dengan rezek yang berlipat ganda.
Pendek kata, taat boleh Anda artikan secara
melakukan perintah atau kewajiban, dengan tanpa melaik motivasi yang mendorong
pelaksanaannya. Lalu, apa bedanya taat dengan ibadah? Ibadah itu pengabdian
kepada Allah. Karena itu, berbeda dengan fast, dalam ibadah, motivasi atau
dalam bahasa agama mat-sangatlah penting Thadah tanpa niat bukanlah ibadah
namanya. "Innamala malu binniyat," sabda Rasulullah Saw dalam sebuah
hadis sahih. "Hanya dengan niatlah, amal ina sah sebagai amal."
Segala amal yang didorong oleh niat Lale Ta'ala, mencari keridaan Allah, dapat
disebut ibadah. Sebaliknya, perbuatan yang tampaknya seperti ibadah, bisa tidak
dapat dianggap ibadah karena niat atau motivasi yang salah. Membaca al-Qur'an
dengan niat mendapat piala, tentu tidak sama dengan niat mendapat pahala.
Taqarrab lain lagi. Taqarrub atau
mendekatkan diri kepada Allah tidaklah semata-mata taat atau ibadah. Taqarrub
bukan sekadar melaksanakan perintah atau kewajiban. Lebih dari itu, taqarrub
adalah melaksanakan itu semua sebagai kebutuhan sebagai hamba yang mencintai
dan ingin dekat kepada Tuhannya. Tentu saja taqarrub sulit dilakukan oleh
mereka yang pengenalan terhadap Tuhannya masih terbatas.
Wabadu, dalam melaksanakan puasa Ramadan,
kita bisa bertanya kepada diri kita sendiri untuk memperoleh jascaban apakah
kita berpuasa sekadar menaati kewajiban, mengharap pahala yang kata mubaligh
dan para kiai tak terkira besarnya itu, karena kepentingan kepentingan kita
sendiri yang lain, misalnya agar sembuh dari penyakit dan sebagainya, ataukah
karena kita merasa perlu untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan kita?
Apa pun jawaban jujur yang muncul dari diri
kita sendiri, akan dapat kita manfaatkan bagi peningkatan bagi keberagamaan dan
penghambaan kita kepada-Nya. Puasa, seperti sering dikatakan para kiai, adalah
amalan khusus antara kita, sebagai hamba dan Allah saja. Hanya Allah yang tahu
kita berpuasa, dan hanya Allah yang tahu motivasi apa yang mendorong kita
berpuasa.
Lebih dari itu, sebenarnya dalam bulan suci
Ramadan, dalam bulan yang kita bisa bebas menyendiri dengan diri kita sendiri
dan Tuhan kita, kita bisa bertanya-tanya kepada diri sendiri mengenai berbagai
perilaku kita selama ini, tentang motivasi sikap dan perbuatan-perbuatan kita,
dan tentang segala sesuatu yang lain dalam kaitannya dengan eksistensi kita
sebagai hamba Allah.
Siapa tahu kita akan memperoleh jawaban,
dan dari jawaban itu kita menjadi tahu lebih yakin apakah kita ini hamba yang
taat, hamba yang mengabdi kepada-Nya. Dengan demikian, selain mendapat hikmah
dan pahala puasa, kita masih mendapatkan sesuatu yang dapat kita jadikan bekal
bagi penyempurnaan hidup kita sebagai hamba yang diangkat sebagai khalifah-Nya
di bumi ini.
Penggalan cerita diatas yang diambil dari salah satu karya terbaik dari seorang penulis sekaligus seorang Kiai, A. Mustofa Bisri mengingatkan saya akan pentingnya niat dalam setiap tindakan, termasuk dalam
beribadah.
Sebagai
penerjemah, saya juga harus memiliki niat yang tulus untuk
menyampaikan pesan yang benar dan akurat. Namun, saya juga menyadari bahwa niat
saya sendiri dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti pemahaman saya
tentang teks aslinya, pengetahuan tentang budaya dan agama yang berbeda, serta
tekanan untuk memenuhi deadline.
Dalam
proses penerjemahan, saya seringkali dihadapkan pada pilihan-pilihan sulit. Kata mana
yang paling tepat untuk menggambarkan konsep tertentu? Apakah saya harus
mengutamakan akurasi atau kefasihan? Setiap pilihan yang saya buat akan
berdampak pada makna keseluruhan teks.